Wae Rebo. sumber:http://andreyuris.wordpress.com/ |
Tiba-tiba saja saya sangat ingin ke Wae Rebo, tiba-tiba saja
saya ingin ke Bale Ajar Tegalarum “Membangun bambu seribu candi”, tiba-tiba
saja saya ingin kembali ke Kampung Naga, tiba-tiba saja saya ingin kembali
menginap di Maratua, tiba-tiba saja saya ingin ke Baduy, tiba-tiba saja saya
ingin ke Bagan Siapi-api, tiba-tiba saja saya ingin ke semua rumah adat di
Indonesia. Tetapi setelah dirunut, ternyata keinginan tersebut bukan datang
secara tiba-tiba.
Keinginan itu muncul setelah saya pulang dari suatu trip ke
Sabang, Aceh, Medan dan Bukittinggi. Saat itu saya mulai bosan dengan destinasi
yang selama ini sering saya kunjungi, pantai. Alternatif tujuan selanjutnya
adalah gunung. Kemudian saya berpikir, saya tamatan Arsitektur, saya suka pergi
ke tempat-tempat baru dan tertarik untuk singgah di rumah penduduk yang saya
kunjungi, saya suka menulis, mengapa hobi ini tidak saya kaitkan saja. Lebih
berguna, bukan hanya untuk saya, tapi juga bisa dinikmati para penikmat budaya
dan Arsitektur Nusantara. Muncullah ide untuk pergi ke tempat-tempat di atas.
Jadi, rencana saya selanjutnya adalah tiap kali pergi sebisa mungkin menulis tentang
arsitektur wilayah tersebut. Ide ini sudah masuk dalam misi saya. Setidaknya
ilmu Arsitektur saya gak mati, gak berhenti setelah empat tahun kuliah saja.
Saya merasa sangat telat, juga malu kepada para guru saya. Kenapa tidak dari
dulu saja saya lakukan ini semua. Nusantara memang kaya. Nusantara sangat
beragam budayanya dan Nusantara itu cuma Indonesia!
Pengetahuan saya soal Arsitektur Nusantara ini masih cetek.
Dulu belajar hal ini juga karena kewajiban, bukan karena suka. Di usia sekarang
baru sadar bahwa ini semua sangat menarik untuk dibahas, memalukan bukan! Tidak
ada kata terlambat untuk memulai, itu yang bisa saya ucapkan untuk menghibur
diri. Bahasa Arsitektur saya masih kacau. Saya akan belajar lagi.
Beberapa destinasi di atas juga saya inginkan bukan karena
tiba-tiba ternyata. Saya ingin ke Bagan Siapi-api karena saya pernah membaca
tulisan Dahlan Iskan tahun lalu soal kota ini. Sebuah kota yang perkembangan
kotanya tidak terduga meskipun listrik belum masuk ke daerahnya. Saya ingin ke
Baduy karena membaca sebuah majalah elektronik untuk backpacking. Saya ingin
kembali ke Maratua karena saya menyesal dulu waktu menginap di sana tidak
bertanya mendetail soal rumah panggungnya. Saya ingin ke Bale Ajar Tegalarum
karena saya merasa malu ketinggalan proyek sosial ini setelah baru melihat
hasilnya. Saya ingin kembali ke Kampung Naga karena saya ingin kembali
merasakan budaya dan adat mereka dengan seharian tanpa listrik.
Dan saya ingin
ke Wae Rebo sejak saya membaca laporan seorang wartawan yang baru saja ke sana
untuk membahas sebuah kampung yang dengan terhormat baru saja menjadi pemenang
UNESCO. Pada saat membaca artikel tersebut, saya langsung berharap suatu saat
saya pasti ke sana. Ini sudah saya masukkan ke list destinasi. Kira-kira dua
minggu setelah saya membaca berita tersebut, saya mendowload edisi terbaru
majalah backpacking favorit saya yang ternyata membahas Wae Rebo. Deg! Rasa excite
tiba-tiba muncul seperti rasa di saat saya tiba-tiba mendapati majalah tersebut
membahas Sabang ketika saya sedang menyusun itinerary ke sana. “Aku harus ke
sana segera,” kata saya waktu membaca koran dan majalah yang membahas Wae Rebo. Lagi-lagi saya merasa
malu. Di majalah tersebut juga dibahas mengenai buku karya Arsitek Indonesia
yang pernah berpartisipasi untuk melestarikan Rumah Adat Wae Rebo yang bahkan saya tidak
tahu kalau buku itu ada.
Buku Keren! |
Seminggu setelah itu, secara kebetulan saya mendapat
rekomendasi untuk mencoba apply master degree di sebuah univ di Jepang yang
memang lingkupnya ke arah Arsitektur dengan pendekatan Human behavior
environmental studies dan penggunaan material lokal. Entah mengapa mendadak
saya kepikiran Wae Rebo. Wae Rebo langsung saya jadikan ide riset untuk master
degree nanti. Dan saya langsung mencoba mencari buku tersebut. Judulnya “Pesan
dari Wae Rebo”. Karena memang ternyata buku ini sudah terbatas di toko buku,
saya mencari online store. Saya bertanya ke editor majalah tersebut perihal
buku tersebut. Setelah diberi info, tidak lama kemudian saya langsung
menemukannya. Dan beberapa hari setelah itu, buku tersebut sudah di tangan
saya dengan harga yang sangat menggembirakan :)
Semuanya terasa terhubung dengan sengaja. Seperti ada alur
yang sudah direncanakan sebelumnya.
Semoga ini pertanda baik. Aminn..
Semoga saya bisa segera merealisaskikan mimpi-mimpi saya dengan modal bonek dan mengandalkan keajaiban doa :p
Aw aw aw Wae Rebo, gilak gak sih tadi malam gue browsing2 tentang Wae Rebo. mari packing dan segera berangkat haha
ReplyDeleteAyo lid..budhal. Lek iso secepatnya :D
ReplyDelete