Saturday, October 6, 2012

Aku dan Arsitektur Nusantaraku

Wae Rebo. sumber:http://andreyuris.wordpress.com/
Tiba-tiba saja saya sangat ingin ke Wae Rebo, tiba-tiba saja saya ingin ke Bale Ajar Tegalarum “Membangun bambu seribu candi”, tiba-tiba saja saya ingin kembali ke Kampung Naga, tiba-tiba saja saya ingin kembali menginap di Maratua, tiba-tiba saja saya ingin ke Baduy, tiba-tiba saja saya ingin ke Bagan Siapi-api, tiba-tiba saja saya ingin ke semua rumah adat di Indonesia. Tetapi setelah dirunut, ternyata keinginan tersebut bukan datang secara tiba-tiba.

Keinginan itu muncul setelah saya pulang dari suatu trip ke Sabang, Aceh, Medan dan Bukittinggi. Saat itu saya mulai bosan dengan destinasi yang selama ini sering saya kunjungi, pantai. Alternatif tujuan selanjutnya adalah gunung. Kemudian saya berpikir, saya tamatan Arsitektur, saya suka pergi ke tempat-tempat baru dan tertarik untuk singgah di rumah penduduk yang saya kunjungi, saya suka menulis, mengapa hobi ini tidak saya kaitkan saja. Lebih berguna, bukan hanya untuk saya, tapi juga bisa dinikmati para penikmat budaya dan Arsitektur Nusantara. Muncullah ide untuk pergi ke tempat-tempat di atas. Jadi, rencana saya selanjutnya adalah tiap kali pergi sebisa mungkin menulis tentang arsitektur wilayah tersebut. Ide ini sudah masuk dalam misi saya. Setidaknya ilmu Arsitektur saya gak mati, gak berhenti setelah empat tahun kuliah saja. Saya merasa sangat telat, juga malu kepada para guru saya. Kenapa tidak dari dulu saja saya lakukan ini semua. Nusantara memang kaya. Nusantara sangat beragam budayanya dan Nusantara itu cuma Indonesia!

Pengetahuan saya soal Arsitektur Nusantara ini masih cetek. Dulu belajar hal ini juga karena kewajiban, bukan karena suka. Di usia sekarang baru sadar bahwa ini semua sangat menarik untuk dibahas, memalukan bukan! Tidak ada kata terlambat untuk memulai, itu yang bisa saya ucapkan untuk menghibur diri. Bahasa Arsitektur saya masih kacau. Saya akan belajar lagi.
Beberapa destinasi di atas juga saya inginkan bukan karena tiba-tiba ternyata. Saya ingin ke Bagan Siapi-api karena saya pernah membaca tulisan Dahlan Iskan tahun lalu soal kota ini. Sebuah kota yang perkembangan kotanya tidak terduga meskipun listrik belum masuk ke daerahnya. Saya ingin ke Baduy karena membaca sebuah majalah elektronik untuk backpacking. Saya ingin kembali ke Maratua karena saya menyesal dulu waktu menginap di sana tidak bertanya mendetail soal rumah panggungnya. Saya ingin ke Bale Ajar Tegalarum karena saya merasa malu ketinggalan proyek sosial ini setelah baru melihat hasilnya. Saya ingin kembali ke Kampung Naga karena saya ingin kembali merasakan budaya dan adat mereka dengan seharian tanpa listrik. 
Dan saya ingin ke Wae Rebo sejak saya membaca laporan seorang wartawan yang baru saja ke sana untuk membahas sebuah kampung yang dengan terhormat baru saja menjadi pemenang UNESCO. Pada saat membaca artikel tersebut, saya langsung berharap suatu saat saya pasti ke sana. Ini sudah saya masukkan ke list destinasi. Kira-kira dua minggu setelah saya membaca berita tersebut, saya mendowload edisi terbaru majalah backpacking favorit saya yang ternyata membahas Wae Rebo. Deg! Rasa excite tiba-tiba muncul seperti rasa di saat saya tiba-tiba mendapati majalah tersebut membahas Sabang ketika saya sedang menyusun itinerary ke sana. “Aku harus ke sana segera,” kata saya waktu membaca koran dan majalah yang membahas Wae Rebo. Lagi-lagi saya merasa malu. Di majalah tersebut juga dibahas mengenai buku karya Arsitek Indonesia yang pernah berpartisipasi untuk melestarikan Rumah Adat Wae Rebo yang bahkan saya tidak tahu kalau buku itu ada.
Buku Keren!
Seminggu setelah itu, secara kebetulan saya mendapat rekomendasi untuk mencoba apply master degree di sebuah univ di Jepang yang memang lingkupnya ke arah Arsitektur dengan pendekatan Human behavior environmental studies dan penggunaan material lokal. Entah mengapa mendadak saya kepikiran Wae Rebo. Wae Rebo langsung saya jadikan ide riset untuk master degree nanti. Dan saya langsung mencoba mencari buku tersebut. Judulnya “Pesan dari Wae Rebo”. Karena memang ternyata buku ini sudah terbatas di toko buku, saya mencari online store. Saya bertanya ke editor majalah tersebut perihal buku tersebut. Setelah diberi info, tidak lama kemudian saya langsung menemukannya. Dan beberapa hari setelah itu, buku tersebut sudah di tangan saya dengan harga yang sangat menggembirakan :)
Semuanya terasa terhubung dengan sengaja. Seperti ada alur yang sudah direncanakan sebelumnya. 
Semoga ini pertanda baik. Aminn..

Semoga saya bisa segera merealisaskikan  mimpi-mimpi saya dengan modal bonek dan mengandalkan keajaiban doa :p

2 comments:

  1. Aw aw aw Wae Rebo, gilak gak sih tadi malam gue browsing2 tentang Wae Rebo. mari packing dan segera berangkat haha

    ReplyDelete
  2. Ayo lid..budhal. Lek iso secepatnya :D

    ReplyDelete