Sunday, October 28, 2012

A Beautiful unFamous Island, Gili Labak

Gili Labak
Mendengar namanya saja baru beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke sana. Itupun dari Peter (BPI) yang menyusun itinerary ke sana. Pasti kalian juga bakal bertanya, "Hah? Gili Labak? dimana itu?" Peter is the one who knows many hidden and unfamous places for visit. Salut buatmu Pete!
Gili Labak dari jauh
Gili Labak, sebuah pulau kecil di Madura yang masih asing namanya di telinga para traveler. Pulau ini masih sangat jarang pengunjungnya. Apalagi kunjungan wisata. Padahal pulau ini tidak kalah indah dengan Gili-gili yang ada di Lombok. Pemandangan underwaternya juga oke untuk snorkeling maupun diving. Masih terjaga dan banyak yang masih hidup karangnya. Pergi ke pulau ini tidak akan sia-sia kok..
Pelabuhan Kalianget
Lokasi Gili Labak ada di Kabupaten Sumenep, kecamatan Talango. Untuk mencapai tempat ini kita harus menyeberang dulu dari Pelabuhan Kalianget. Perjalanannya 2 jam dari Kalianget jika ombak tidak besar dan 3 jam jika ombak agak naik. Bisa juga dari Pelabuhan Kalianget menuju Talango terlebih dahulu dengan kapal ferry kemudian dilanjutkan ke Gili Labak. Kami berangkat dari Surabaya ke Kalianget pada hari Sabtu, 20 Okt 2012 pukul 22.00 dengan bus ekonomi Rp 35.000. Bus yang tujuannya sampai di Pelabuhan Kalianget hanya ada di malam hari, selain waktu itu bus hanya sampai di terminal Sumenep. Perkiraan kami sampai Kalianget subuh, tapi ternyata kami sampai lebih cepat. Perjalanan Surabaya-Kalianget yang umumnya ditempuh 6 jam-an ternyata hanya 4 jam kami sudah sampai. Akhirnya kami mencari tempat untuk beristirahat terlebih dahulu. Dimana? Di Kecamatan seberang pelabuhan. Teras Kecamatan lebih tepatnya. Kami beristirahat sejenak sambil menunggu subuh. Kami sempat bertanya-tanya pada petugas di Kecamatan yang sedang berjaga mengenai Gili Labak. Katanya pulau itu jarang pengunjungnya. Sepanjang perjalanan, hampir semua orang yang menanyakan tujuan kami terkejut setelah kami jawab ke Gili Labak. Mereka pikir kami gerombolan mahasiswa yang akan riset atau KKN atau apa saja lah yang berhubungan dengan kuliah. Hahaaa
It means that we look so young, guys.. Have you ever heard the words "Traveling makes you look younger"? its true! :*
No! This is not our boat..
Kapal ke Talango
Bahkan Gili Labak tidak masuk di list penyeberangan
Sebelum berangkat, isi solar di desa seberang pelabuhan
Tepat setalah adzan subuh, kami sholat kemudian menuju pelabuhan. Masih pukul setengah lima kurang, kami menunggu agak terang dulu untuk berangkat. Sambil menunggu, kami lakukan bargaining dengan pemilik perahu. Kami menyewa perahu PP Kalianget-Gili Labak seharga Rp 500k. Itu sudah harga standar kata orang-orang di sana. Perahu yang kami pakai tidak besar, tapi muat untuk 10-12 orang dewasa. Pas dengan jumlah kami yang 10. Tidak lupa kami membeli sarapan untuk bekal, takut tidak ada warung di sana. Menu favorit saya di warung pelabuhan itu Nasi cumi. Nasinya versi kuli, banyaaaaakkk.. harganya juga reasonable, rata-rata Rp 7.000.
The Sunrise :)
Pukul 05.05 kami berangkat menuju Gili Labak.
Tetereeeettt... setengah jam pertama, foto-foto narsis, makan, maen UNO (tetep), chit-chat.
Setengah jam kedua.."mana sih pulaunya? gak kelihatan ya", "Emang berapa lama sih perjalanannya" sambil terombang-ambing ombak. Beberapa orang mulai terlihat tanda-tanda mabuk laut.
Setengah jam berikutnya, sibuk dengan pikiran masing-masing, tidur.
Masih seger..sebelum tragedi itu..
Pemandangan selama perjalanan di laut
Sempet tidur juga kok di perahu
macak cool!
Sudah 2 jam, dan kami masih belum sampai. Kata kapten (kapteeeeennnn yaa..) perahu, ini karena ombaknya mulai besar. Kami lakukan apa saja untuk membunuh waktu. Hingga akhirnya, setelah hampir 3 jam kami hampir mendekati sebuah daratan. Sebuah pulau yang terlihat sepi, bersih, karang-karang juga terlihat langsung dari atas perahu, airnya masih jernih sampai sebelum teman kami menodainya. --"
Ambil foto dari spot kami turun dari perahu
Karena air sedang surut, perahu kami tidak bisa sampai ke tepi pantai takut merusak karang yang ada. Akhirnya kami langsung turun dan berbasah-basahan. Entah itu snorkeling, berenang, atau hanya sight seeing saja.
Welcome Jump!
Lompat indah
Underwater yang sudah terlihat dari atas, and that was our boat. Photo by Mr. Buchari
Gili Labak's underwater. Photo by Mr. Buchari
Kami sempat masuk ke pemukiman warga di sana. Pulau seluas 5 Ha ini hanya berpenduduk tidak lebih dari 150 jiwa. Rumah-rumahnya pun tidak padat sama sekali. Benar-benar sepi, seperti tidak ada kehidupan. Hanya beberapa orang yang sedang di luar rumah saja yang terlihat.
Pulau ini masih termasuk daerah yang kekurangan air bersih untuk dikonsumsi. Untuk mendapatkan air bersih tersebut, penduduknya harus ke desa lain dengan membawa jurigen-jurigen. Di waktu tertentu, pemerintah mengirimkan air bersih. Karena dari awal kami tahu kondisi ini, kami sudah bersiap membawa beberapa botol air mineral untuk persediaan, bahkan untuk mandi. Pulau ini juga dikenal dengan sebutan pulau tikus. Kata orang-orang, tikus-tikus akan berdatangan dengan jumlah yang cukup banyak jika ada hewan yang disembelih.
Salah satu jalan setapak menuju desa Gili Labak
Suasana pemukimannya. Sepiiiii
Mata pencaharian utama penduduknya
Pulau ini juga terasa seperti pulau sendiri. Tidak ada pengunjung lain selain kami bersepuluh. Bahkan warganya pun tidak tampak di sekitar pantai. Di sini penduduknya kurang bisa berkomunikasi dengan bahasa lain selain Madura. Beruntung salah satu dari kami ada yang cukup bisa bahasa tersebut, kami sempat meminta air di sumur mereka untuk berbilas karena air yang kami bawa berada di dalam perahu yang tempatnya lumayan jauh dari tepi pantai.
sepinya Gili Labak
Ikan Pari yang sempat terdampar
Beautiful isn't it!
It just like Gusung Island
a private beach
Perahu Bang Toyib

Cuaca di sana memang sangat panas, air laut yang menempel di kulit saja dalam beberapa menit bisa mengering dan jadi garam. Tapi keindahan pantai di sini mengalahkan segalanya. Berenang, berjemur, lompat-lompatan, gulung-gulung di pasir..aaaahh..menyenangkan sekali. Sayangnya kami hanya beberapa jam saja di sana, sebelum siang kami sudah harus kembali karena takut ombak yang bisa berubah menjadi besar. Kami kembali ke Pelabuhan Kalianget pukul 10.30 dan sampai dua jam kemudian. Kami sempatkan untuk mandi di pemandian umum yang ada di dalam sebuah penginapan di dekat pelabuhan kemudian lanjut makan siang.
Setelah bercakap-cakap dengan pemilik penginapan, ternyata bus dari dan ke kalianget tidak ada di siang hari. Adanya di malam hari. Alternatif pulang di siang hari adalah dengan ojeg atau mencarter mobil. Kebetulan pemilik penginapan tersebut juga menawarkan alternatif kedua. Kami bersepuluh dan satu sopir bergabung dalam satu mobil menuju terminal Sumenep (silahkan dibayangkan bagaimana uyel-uyelannya kami). Masing-masing orang dicharge Rp 10k. Sampai di terminal kami melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Surabaya. Karena tidak tahan dengan panasnya Madura dan mengejar waktu sampai di Surabaya sebelum malam hari, kami memutuskan untuk naik Patas seharga Rp 48k, jika ingin yang lebih hemat bisa naik bus ekonomi dengan tarif Rp 33k.
Penginapan tempat kami mandi dan mendapatkan kendaraan untuk ke terminal
Finally, perjalanan kami berakhir malam itu. Thank you for gave me a peaceful weekend God..
Do not dedicate your life for working! Just get lost if you wanna some excitement.

Thursday, October 11, 2012

#TurnamenFotoPerjalanan 5

Baru tau soal turnamen ini semalam dari twitnya Dina @DuaRansel. Mbak Dina ngetwit soal turnamen foto perjalanan. Penasaran, saya coba buka linknya. Muncullah page ini 
Dari situ saya akhirnya tau soal turnamen tersebut. Ternyata turnamen foto ini sudah dimulai dari 2 bulan yang lalu. Sudah empat tema yang pernah diturnamenkan. Ide yang menarik!
Tema kali ini adalah Pasar. Saya mencoba berpartisipasi. Tidak rugi sama sekali kan jika kita berbagi :)
Ibu-ibu pedagang Pasar Kobong
Foto yang saya share kali ini adalah foto Ibu-ibu di Pasar Kobong Madiun.Disebut Pasar Kobong (dalam bahasa jawa artinya terbakar)karena pasar tersebut pernah habis terbakar. Lokasinya di tengah kota Madiun. Pedagang kecil yang tidak mampu menyewa stan di dalam pasar yang baru dibangun kembali itu akhirnya berjualan di depannya. Pasar lama itu sekarang sudah menyerupai mall. Meski demikian, ibu-ibu tersebut tetap terlihat bersemangat menjalaninya. Memang mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah, bukan?!

Foto di atas saya ambil pada waktu saya supervisi proyek XL center Madiun. Lokasi proyek ini tepat di sebelah Pasar Kobong. Kebetulan saya pengen "ngeloyong" sendiri seperti biasanya. Saya jalan melihat sekitaran daerah proyek. Ada apa saja di sana, momen apa yang bisa saya dapatkan di sana. Nice to walk around in the middle of somewhere :D

Waktu menuju stasiun untuk pulang juga menemukan papan arah yang cukup menarik, maklum saya belum pernah menemukan papan arah seperti itu di stasiun-stasiun yang pernah saya singgahi.
Surabaya, 354 KM
Waktu keliling sebentar di sekitar stasiun ini, saya menemukan banyak sekali rumah tua. So loveable :)
Ini cuma salah satu ornamen rumah tua di dekat stasiun Madiun.
Detil Arsitektur Rumah Kolonial Belanda
Lebih menarik lagi waktu masuk stasiun dan melihat beberapa papan peringatan yang menggunakan bahasa Jawa.
Mboten Pareng Udut!
Panggenan Kagem Udut!
Nah, kalau yang ini saya temukan waktu jalan dari alun-alun Jember ke proyek.
Pintu Taubat
Pintu ini adalah pintu keluar para narapidana setelah bebas hukuman. Harapannya sih keluar dari sana sudah bertobat. Ini namanya kreatif kerakyatan kata BajigurMagz. Lalu foto di bawah ini adalah foto rumah-rumah penyimpan pada setelah dipanen. Jika kita ke Jember, kita pasti melewati ini kok.
Ngambilnya gak bisa total, capture foto dari kereta
Jadi, perjalanan saya ini disponsori oleh PT. KAI.. hahaaa
Ini kenapa kok jadi cerita panjang ya..kan niatnya cuma mau share soal turnamen foto perjalanan aja :D

Baiklah, selamat berbagi foto dan cerita kawan!
Banyak hal yang tidak bisa diceritakan dengan kata-kata, ceritakan saja dengan gambar atau foto.


Cheers,
Mehdia

Saturday, October 6, 2012

Aku dan Arsitektur Nusantaraku

Wae Rebo. sumber:http://andreyuris.wordpress.com/
Tiba-tiba saja saya sangat ingin ke Wae Rebo, tiba-tiba saja saya ingin ke Bale Ajar Tegalarum “Membangun bambu seribu candi”, tiba-tiba saja saya ingin kembali ke Kampung Naga, tiba-tiba saja saya ingin kembali menginap di Maratua, tiba-tiba saja saya ingin ke Baduy, tiba-tiba saja saya ingin ke Bagan Siapi-api, tiba-tiba saja saya ingin ke semua rumah adat di Indonesia. Tetapi setelah dirunut, ternyata keinginan tersebut bukan datang secara tiba-tiba.

Keinginan itu muncul setelah saya pulang dari suatu trip ke Sabang, Aceh, Medan dan Bukittinggi. Saat itu saya mulai bosan dengan destinasi yang selama ini sering saya kunjungi, pantai. Alternatif tujuan selanjutnya adalah gunung. Kemudian saya berpikir, saya tamatan Arsitektur, saya suka pergi ke tempat-tempat baru dan tertarik untuk singgah di rumah penduduk yang saya kunjungi, saya suka menulis, mengapa hobi ini tidak saya kaitkan saja. Lebih berguna, bukan hanya untuk saya, tapi juga bisa dinikmati para penikmat budaya dan Arsitektur Nusantara. Muncullah ide untuk pergi ke tempat-tempat di atas. Jadi, rencana saya selanjutnya adalah tiap kali pergi sebisa mungkin menulis tentang arsitektur wilayah tersebut. Ide ini sudah masuk dalam misi saya. Setidaknya ilmu Arsitektur saya gak mati, gak berhenti setelah empat tahun kuliah saja. Saya merasa sangat telat, juga malu kepada para guru saya. Kenapa tidak dari dulu saja saya lakukan ini semua. Nusantara memang kaya. Nusantara sangat beragam budayanya dan Nusantara itu cuma Indonesia!

Pengetahuan saya soal Arsitektur Nusantara ini masih cetek. Dulu belajar hal ini juga karena kewajiban, bukan karena suka. Di usia sekarang baru sadar bahwa ini semua sangat menarik untuk dibahas, memalukan bukan! Tidak ada kata terlambat untuk memulai, itu yang bisa saya ucapkan untuk menghibur diri. Bahasa Arsitektur saya masih kacau. Saya akan belajar lagi.
Beberapa destinasi di atas juga saya inginkan bukan karena tiba-tiba ternyata. Saya ingin ke Bagan Siapi-api karena saya pernah membaca tulisan Dahlan Iskan tahun lalu soal kota ini. Sebuah kota yang perkembangan kotanya tidak terduga meskipun listrik belum masuk ke daerahnya. Saya ingin ke Baduy karena membaca sebuah majalah elektronik untuk backpacking. Saya ingin kembali ke Maratua karena saya menyesal dulu waktu menginap di sana tidak bertanya mendetail soal rumah panggungnya. Saya ingin ke Bale Ajar Tegalarum karena saya merasa malu ketinggalan proyek sosial ini setelah baru melihat hasilnya. Saya ingin kembali ke Kampung Naga karena saya ingin kembali merasakan budaya dan adat mereka dengan seharian tanpa listrik. 
Dan saya ingin ke Wae Rebo sejak saya membaca laporan seorang wartawan yang baru saja ke sana untuk membahas sebuah kampung yang dengan terhormat baru saja menjadi pemenang UNESCO. Pada saat membaca artikel tersebut, saya langsung berharap suatu saat saya pasti ke sana. Ini sudah saya masukkan ke list destinasi. Kira-kira dua minggu setelah saya membaca berita tersebut, saya mendowload edisi terbaru majalah backpacking favorit saya yang ternyata membahas Wae Rebo. Deg! Rasa excite tiba-tiba muncul seperti rasa di saat saya tiba-tiba mendapati majalah tersebut membahas Sabang ketika saya sedang menyusun itinerary ke sana. “Aku harus ke sana segera,” kata saya waktu membaca koran dan majalah yang membahas Wae Rebo. Lagi-lagi saya merasa malu. Di majalah tersebut juga dibahas mengenai buku karya Arsitek Indonesia yang pernah berpartisipasi untuk melestarikan Rumah Adat Wae Rebo yang bahkan saya tidak tahu kalau buku itu ada.
Buku Keren!
Seminggu setelah itu, secara kebetulan saya mendapat rekomendasi untuk mencoba apply master degree di sebuah univ di Jepang yang memang lingkupnya ke arah Arsitektur dengan pendekatan Human behavior environmental studies dan penggunaan material lokal. Entah mengapa mendadak saya kepikiran Wae Rebo. Wae Rebo langsung saya jadikan ide riset untuk master degree nanti. Dan saya langsung mencoba mencari buku tersebut. Judulnya “Pesan dari Wae Rebo”. Karena memang ternyata buku ini sudah terbatas di toko buku, saya mencari online store. Saya bertanya ke editor majalah tersebut perihal buku tersebut. Setelah diberi info, tidak lama kemudian saya langsung menemukannya. Dan beberapa hari setelah itu, buku tersebut sudah di tangan saya dengan harga yang sangat menggembirakan :)
Semuanya terasa terhubung dengan sengaja. Seperti ada alur yang sudah direncanakan sebelumnya. 
Semoga ini pertanda baik. Aminn..

Semoga saya bisa segera merealisaskikan  mimpi-mimpi saya dengan modal bonek dan mengandalkan keajaiban doa :p