"Tempe!"
"Saya juru masaknya"
"Okee!"
"Ada tempe goreng, ada tahu goreng, semuanya digoreng..oseng..oseng..oseng.."
Siapa generasi 90an yang tidak mengenal lirik di atas? Lagu anak-anak yang Indonesia sekali menurut saya. Sampai sekarang lagu tersebut masih sering dinyanyikan oleh ibu-ibu yang mengajari anaknya makan tempe. Bahkan saya yang sekarang sudah menjadi seorang ibu, kadang tidak sadar menyanyikan lagu itu waktu bernyanyi dengan anak saya. Maklum, saya kan jebolan ibu dari tahun 90an :)
Tahu dan tempe memang sudah dikenal sebagai makanan khas Indonesia, terutama tempe. Sampai diekspor ke negara-negara lain. Kemasannya beragam, dari yang plastik hingga kaleng untuk melindungi teksturnya utuh ketika dikirim hingga bisa dinikmati seperti bentuk umumnya di Indonesia.
Hmm..ternyata, tempe yang sudah melanglang buana dan hampir tiap hari kami nikmati tersebut ada yang diproduksi di Surabaya. Nama kampungnya adalah Kampung Tempe Tenggilis. Lokasinya berada di Jl. Tenggilis Kauman, Surabaya. Lebih dari 200 pengrajin tempe yang berada di Tenggilis, namun hanya 30 pengrajin yang aktif dalam binaan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Surabaya. Keberadaannya menyebar di beberapa gang di wilayah Tenggilis. Salah satu gang yang cukup memperlihatkan aktivitas pembuatan tempenya adalah Tenggilis Kauman Gang Buntu 27 RT 04 RW III. Ada penanda di depan gerbangnya bahwa kampung tersebut adalah kampung tempe. Sudah cukup banyak pengunjung dari luar kota hingga luar negeri yang ingin melihat langsung proses pembuatan tempe di kampung ini. Adanya kampung ini adalah satu kabar baik untuk Indonesia sebagai bentuk pelestarian kampung yang berpotensi untuk dikembangkan.
Gang Buntu 27 yang menjadi ikon Kampung Tempe |
Mural Penanda Kampung Tempe |
Kampung Tempe turut mendukung program Surabaya Green and Clean |
Mural yang berada di depan rumah Nur Hasan |
Produksi tempe miliknya sudah menyebar ke wilayah Surabaya dan sekitarnya. Ia memiliki pelanggan tetap yang menjual tempenya. Sayangnya kita tidak bisa membeli produk tempe secara ecer di sini. Semua produksinya sudah pesanan para distributor tempe di pasar-pasar.
Nur Hasan mengakui, dengan adanya kerjasama dengan Disperindag, usahanya menjadi lebih berkembang dari sebelumnya. Misalnya saja keripik tempe yang dibuatnya awalnya hanya berada di meja warung-warung dengan kemasan kecil dan diplastik seadanya. Setelah dibina, keripik tempenya mulai mendapatkan perhatian distributor oleh-oleh dengan kemasan yang menarik sehingga pemasukan usahanya meningkat. Produksi tempe mentahnya pun demikian. Sebelumnya pengolahan kedelai menjadi tempe menggunakan air yang kurang sehat, setelah mendapatkan pembinaan dari Dinas perdagangan dan perindustrian serta bantuan dana dari Bank Indonesia, tempe milik bapak Nur Hasan layak dikonsumsi sebagai makanan sehat warga Surabaya dan sekitarnya.
Jika dilihat dari tempe-tempe yang sedang dibariskan di depan rumahnya, jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan produksi tempe pengrajin lainnya di daerah Tenggilis. Setiap harinya, Bapak Nur Hasan memproduksi kurang lebih tiga kuintal kedelai yang akan dijadikan tempe.
Barisan tempe yang sedang diragi di teras rumah Nur Hasan |
Nur Hasan sedang menata tempe-tempe produksinya |
Proses pembuatan dari kedelai dicuci hingga menjadi tempe yaitu empat hari empat malam. Hmm, cukup lama juga ya. Mulanya, kedelai dicuci hingga bersih dan terpisah dari biji-bijian selain kedelai, kemudian direbus untuk menghilangkan kotoran dan bakteri. Lalu, kedelai yang telah bersih direndam semalaman. Setelah kulit kedelai cukup lunak, baru kedelai dikupas dan dicuci kembali baru kemudian diberi ragi dan didiamkan selama dua malam. Proses cetaknya sendiri cukup cepat. Ada yang dibungkus daun pisang dan dibungkus plastik hingga akhirnya diambil oleh para penjual tempe.
Sepeda pedagang tempe yang akan mengambil tempe di kampung ini |
Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku
No comments:
Post a Comment