Monday, November 26, 2012

Kampung Melo, Tidak Semellow yang Dibayangkan

Cara membacanya bukan mellow seperti kita membacanya dalam bahasa Inggris. Melo dibaca dengan pengucapan huruf “e” yang sama dengan pengucapan huruf e di dalam kata “sedang”. Melo.

Gerbang Kampung Melo
Kampung ini berada di Desa Liang Darat, kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk menuju ke sini bisa diakses dengan angkot atau ojek dari Labuan Bajo. Kurang lebih Rp 10.000,- tarifnya. Suasananya sepi, berada di dataran tinggi, view yang bisa kita lihat dari kampung ini adalah luasnya Flores. Kampung ini terlihat sedikit mistis di saat mendung dan berkabut. Itu rasa yang saya dapatkan di saat saya baru memasuki kampung ini. Pengunjung yang duduk sendirian di batuan yang ada di pelataran kampung dengan memandang ke arah barat pasti terlihat mellow dan dingin. Tapi ternyata suasananya jauh berkebalikan dari yang kita bayangkan di saat kita sudah bertemu dengan warganya. Mereka memberikan kehangatan yang tulus. Sambutan mereka begitu istimewa bagi tamu biasa seperti kami. Saat kami datang ke sana, kampung tersebut cukup sepi, karena waktu itu gerimis dan waktu orang beristirahat. Saat makan siang di salah satu gazebo yang kami duga adalah tempat alat-alat dan persiapan para penari Caci, tarian adat Manggarai, kami disambut beberapa penduduk lokal. Salah seorang diantara mereka adalah Bapak Yoseph Ugis, tetua di kampung Melo. Kami ditawari minuman kopi atau teh kemudian dipersilahkan masuk ke sebuah rumah dari kayu yang ukurannya paling besar di antara rumah lainnya. Rumah tersebut ternyata memang rumah yang fungsinya untuk menyambut para tamu dan juga sebagai shelter anggota sanggar Compang To’e. Di dalam sanggar ini kami bercengkrama dengan Bapak Yoseph dan keluarganya serta beberapa warga kampung Melo. Nikmatnya Kopi dan Teh hangat asli manggarai ikut melengkapi siang itu.
Suasana di Compang To'e dengan Kopi Manggarai
Sanggar Compang To’e adalah milik Bapak Yoseph Ugis yang sudah berdiri sejak tahun 1993. Compang artinya tempat persembahan dan To’e adalah nama suku asal mereka yang berasal dari Sulawesi. Sanggar ini didirikan sendiri oleh Bapak Yoseph tanpa bantuan yayasan mana pun. Pak Yoseph mendirikannya juga atas dasar kecintaan pada budayanya. Karena kedatangan kami secara tiba-tiba di sana, kami tidak bisa menyaksikan secara langsung tarian-tarian dan sajian budaya lainnya di kampung ini. Padahal menurut sumber, sajiannya sangat menarik untuk dinikmati dan diekspose. Kata Pak Yoseph memang sebaiknya memberi kabar sebelum datang ke kampung mereka agar mereka bisa memberikan sambutan yang lebih istimewa. Biasanya mereka akan menyajikan aktivitas penenunan songket, merajut topi Rea, tarian Caci, permainan tongkat dan lainnya. Sedih sih, tapi bagi kami sambutan yang kami dapatkan saat itu sudah lebih dari cukup.

Sajian kopi khas Manggarai yang disajikan Ibu Yoseph terlihat biasa, tapi rasanya benar-benar nikmat. Saya, pengidap maag yang sangat jarang meminum kopi menjadi tertarik untuk mencobanya setelah teman-teman memberikan respon yang tidak biasa. Saya memberanikan diri untuk mencobanya, sekali teguk, kemudian saya ketagihan. Hebatnya lagi, maag saya tidak kambuh. Kopi ini memang diproses secara alami oleh penduduk Manggarai tanpa melalui proses mesin. Semuanya serba manual. Dari mendapatkan bijinya, proses pemilahan, penumbukan dan penggorengannya serba manual. Itu salah satu kunci kenikmatannya. Bagaimana dengan rasa tehnya? Tidak kalah mantab loh.. Tehnya juga punya rasa yang langka. Teh tersebut berasal dari kebun langsung, meskipun bukan mereka sendiri yang memprosesnya. Ah.. saya jadi rindu suasana sore itu.
Sambil berbincang, Bu Yoseph mengeluarkan beberapa kain songket hasil tenunan para wanita di Kampung Melo. Pak Yoseph menawarkan diri untuk memakaikan songket tersebut kepada salah seorang teman kami. Bu Yoseph juga tiba-tiba ikut memakaikan songket kepada saya lengkap dengan kebaya dan mahkotanya. Kapan lagi punya kesempatan ini? Memakai songket asli tenunan para penduduk Kampung Melo, dipakaikan oleh para tetua di sana pula...
Mad, adventurer, dibantu pak Yoseph memakai Songket dan Rea
Saya dibantu Bu Yoseph memakai songket dan kebaya. Thq Udin for shot this :D
“Songket ini punya arti di dalamnya,” kata Pak Yoseph secara tiba-tiba. Motif di bagian bawah songket dengan simbol yang mengarah vertikal ke atas menandakan bahwa masyarakat mereka percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Motif yang membentuk suatu garis di bagian samping motif bunga merupakan simbol dari persatuan masyarakat Manggarai baik suka dan duka. Motif bunga-bunga berarti bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam. Kemudian warna hitam dari songket menandakan mata pencaharian mereka adalah bertani, bukan berdagang dan lainnya. Kelima, songket sendiri merupakan simbol sakral bagi masyarakat Manggarai pada saat momen sakral seperti pernikahan dan acara adat lainnya. Satu hal yang cukup menarik yaitu, di saat seseorang memakai songket dan topi Rea, maka orang itu wajib berbicara bahasa adat.
Motif Songket yang punya arti mendalam. Bagian bawah mengarah ke atas menandakan kepercayaan mereka pada Tuhan YME. by Udin

Mr. Yoseph with Rea. Taken by Udin
Pak Yoseph Ugis hampir selalu memakai topi Rea, sebuah topi anyaman yang berbentuk seperti peci dan motifnya mirip dengan songket. Hanya saja, yang ditonjolkan dari motif topi Rea ini adalah gambar yang ada di bagian paling depan dengan bentukan seperti atap rumah yang menyilang. Arti dari motif tersebut yaitu menggambarkan kearifan lokal rumah adat khas Manggarai yang dinamakan Mbaru Gendang. Mbaru Gendang ini merupakan simbol keselarasan masyarakat setempat. Songket dan topi tersebut dijual dengan harga kisaran lima puluh ribu hingga tiga ratus ribu. Mereka berharap hasil karya mereka bisa dikenal secara internasional dan pemerintah bisa turut membantu perjuangan mereka untuk mengenalkan budayanya.
Anak-anak Kampung Melo bernyanyi Manik Lain
Sepanjang perbincangan kami, anak-anak kecil kampung Melo ikut berkumpul bersama kami. Mereka terlihat senang sekali jika ada tamu yang berkunjung. Anak-anak di sini ternyata juga banyak diajarkan tentang kebudayaan Manggarai oleh Pak Yoseph. Kami beruntung waktu itu Pak Yoseph dan anak-anak kampung Melo menawarkan diri untuk menyajikan satu nyanyian yang baru saja diciptakan oleh beliau sendiri. Kami mendengarkan nyanyian yang berjudul Manik Lain itu dengan syahdu. Nyanyiannya cukup membuat kita diam dan tercengang. Hanya terdengar suara anak-anak bernyanyi dengan langkah kaki yang serempak menimbulkan bunyi di lantai kayu serta gendang dan gong yang dipukul secara teratur. Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata rasanya. Lebih lagi, kami mendengarkan nyanyian itu di waktu sore yang mendung di dalam rumah kayu yang belum mendapatkan listrik. Di akhir nyanyian, seorang anak menyampaikan isi dari lagu tersebut.

“Sana Manik Lain mengungkapkan keindahan. Satu, alam Manggarai Barat sangat indah dan unik. Ada wisata alam yang indah dan unik, baik di laut maupun di darat. Yang lebih menarik adalah komodonya. Semuanya ini adalah karya Tuhan. Dua, sosial budaya Manggarai sangat indah dan unik. Ada wisata budaya yang indah dan unik, yaitu seni tari, seni musik tradisi, lebih khusus tarian caci. Semuanya ini adalah karya seni leluhur. Mari kita bersatu hati menjaga dan melestarikan demi masa depan kita“

Jadi, alasan apa yang membuat kita tidak mencintai budaya Indonesia, budaya Nusantara yang sangat beragam dan menakjubkan?

No comments:

Post a Comment