Gerbang Kampung Melo |
Kampung ini berada di Desa Liang
Darat, kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk
menuju ke sini bisa diakses dengan angkot atau ojek dari Labuan Bajo. Kurang
lebih Rp 10.000,- tarifnya. Suasananya sepi, berada di dataran tinggi, view
yang bisa kita lihat dari kampung ini adalah luasnya Flores. Kampung ini
terlihat sedikit mistis di saat mendung dan berkabut. Itu rasa yang saya
dapatkan di saat saya baru memasuki kampung ini. Pengunjung yang duduk
sendirian di batuan yang ada di pelataran kampung dengan memandang ke arah
barat pasti terlihat mellow dan dingin. Tapi ternyata suasananya jauh
berkebalikan dari yang kita bayangkan di saat kita sudah bertemu dengan
warganya. Mereka memberikan kehangatan yang tulus. Sambutan mereka begitu
istimewa bagi tamu biasa seperti kami. Saat kami datang ke sana, kampung
tersebut cukup sepi, karena waktu itu gerimis dan waktu orang beristirahat.
Saat makan siang di salah satu gazebo yang kami duga adalah tempat alat-alat
dan persiapan para penari Caci, tarian adat Manggarai, kami disambut beberapa penduduk
lokal. Salah seorang diantara mereka adalah Bapak Yoseph Ugis, tetua di kampung
Melo. Kami ditawari minuman kopi atau teh kemudian dipersilahkan masuk ke
sebuah rumah dari kayu yang ukurannya paling besar di antara rumah lainnya.
Rumah tersebut ternyata memang rumah yang fungsinya untuk menyambut para tamu
dan juga sebagai shelter anggota sanggar Compang To’e. Di dalam sanggar ini
kami bercengkrama dengan Bapak Yoseph dan keluarganya serta beberapa warga
kampung Melo. Nikmatnya Kopi dan Teh hangat asli manggarai ikut melengkapi
siang itu.
Suasana di Compang To'e dengan Kopi Manggarai |
Sanggar Compang To’e adalah milik
Bapak Yoseph Ugis yang sudah berdiri sejak tahun 1993. Compang artinya tempat
persembahan dan To’e adalah nama suku asal mereka yang berasal dari Sulawesi.
Sanggar ini didirikan sendiri oleh Bapak Yoseph tanpa bantuan yayasan mana pun.
Pak Yoseph mendirikannya juga atas dasar kecintaan pada budayanya. Karena
kedatangan kami secara tiba-tiba di sana, kami tidak bisa menyaksikan secara
langsung tarian-tarian dan sajian budaya lainnya di kampung ini. Padahal menurut
sumber, sajiannya sangat menarik untuk dinikmati dan diekspose. Kata Pak Yoseph
memang sebaiknya memberi kabar sebelum datang ke kampung mereka agar mereka
bisa memberikan sambutan yang lebih istimewa. Biasanya mereka akan menyajikan
aktivitas penenunan songket, merajut topi Rea, tarian Caci, permainan tongkat
dan lainnya. Sedih sih, tapi bagi kami sambutan yang kami dapatkan saat itu
sudah lebih dari cukup.
Sajian kopi khas Manggarai yang disajikan Ibu Yoseph terlihat biasa, tapi rasanya benar-benar nikmat. Saya, pengidap maag yang sangat jarang meminum kopi menjadi tertarik untuk mencobanya setelah teman-teman memberikan respon yang tidak biasa. Saya memberanikan diri untuk mencobanya, sekali teguk, kemudian saya ketagihan. Hebatnya lagi, maag saya tidak kambuh. Kopi ini memang diproses secara alami oleh penduduk Manggarai tanpa melalui proses mesin. Semuanya serba manual. Dari mendapatkan bijinya, proses pemilahan, penumbukan dan penggorengannya serba manual. Itu salah satu kunci kenikmatannya. Bagaimana dengan rasa tehnya? Tidak kalah mantab loh.. Tehnya juga punya rasa yang langka. Teh tersebut berasal dari kebun langsung, meskipun bukan mereka sendiri yang memprosesnya. Ah.. saya jadi rindu suasana sore itu.
Sajian kopi khas Manggarai yang disajikan Ibu Yoseph terlihat biasa, tapi rasanya benar-benar nikmat. Saya, pengidap maag yang sangat jarang meminum kopi menjadi tertarik untuk mencobanya setelah teman-teman memberikan respon yang tidak biasa. Saya memberanikan diri untuk mencobanya, sekali teguk, kemudian saya ketagihan. Hebatnya lagi, maag saya tidak kambuh. Kopi ini memang diproses secara alami oleh penduduk Manggarai tanpa melalui proses mesin. Semuanya serba manual. Dari mendapatkan bijinya, proses pemilahan, penumbukan dan penggorengannya serba manual. Itu salah satu kunci kenikmatannya. Bagaimana dengan rasa tehnya? Tidak kalah mantab loh.. Tehnya juga punya rasa yang langka. Teh tersebut berasal dari kebun langsung, meskipun bukan mereka sendiri yang memprosesnya. Ah.. saya jadi rindu suasana sore itu.
Sambil berbincang, Bu Yoseph
mengeluarkan beberapa kain songket hasil tenunan para wanita di Kampung Melo.
Pak Yoseph menawarkan diri untuk memakaikan songket tersebut kepada salah
seorang teman kami. Bu Yoseph juga tiba-tiba ikut memakaikan songket kepada
saya lengkap dengan kebaya dan mahkotanya. Kapan lagi punya kesempatan ini?
Memakai songket asli tenunan para penduduk Kampung Melo, dipakaikan oleh para
tetua di sana pula...
Mad, adventurer, dibantu pak Yoseph memakai Songket dan Rea |
Saya dibantu Bu Yoseph memakai songket dan kebaya. Thq Udin for shot this :D |
“Songket ini punya arti di
dalamnya,” kata Pak Yoseph secara tiba-tiba. Motif di bagian bawah songket
dengan simbol yang mengarah vertikal ke atas menandakan bahwa masyarakat mereka
percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Motif yang membentuk suatu garis di bagian
samping motif bunga merupakan simbol dari persatuan masyarakat Manggarai baik
suka dan duka. Motif bunga-bunga berarti bahwa mereka hidup berdampingan dengan
alam. Kemudian warna hitam dari songket menandakan mata pencaharian mereka
adalah bertani, bukan berdagang dan lainnya. Kelima, songket sendiri merupakan
simbol sakral bagi masyarakat Manggarai pada saat momen sakral seperti
pernikahan dan acara adat lainnya. Satu hal yang cukup menarik yaitu, di saat
seseorang memakai songket dan topi Rea, maka orang itu wajib berbicara bahasa
adat.
Motif Songket yang punya arti mendalam. Bagian bawah mengarah ke atas menandakan kepercayaan mereka pada Tuhan YME. by Udin |
Mr. Yoseph with Rea. Taken by Udin |
Anak-anak Kampung Melo bernyanyi Manik Lain |
Sepanjang
perbincangan kami, anak-anak kecil kampung Melo ikut berkumpul bersama kami.
Mereka terlihat senang sekali jika ada tamu yang berkunjung. Anak-anak di sini
ternyata juga banyak diajarkan tentang kebudayaan Manggarai oleh Pak Yoseph.
Kami beruntung waktu itu Pak Yoseph dan anak-anak kampung Melo menawarkan diri
untuk menyajikan satu nyanyian yang baru saja diciptakan oleh beliau sendiri.
Kami mendengarkan nyanyian yang berjudul Manik Lain itu dengan syahdu.
Nyanyiannya cukup membuat kita diam dan tercengang. Hanya terdengar suara
anak-anak bernyanyi dengan langkah kaki yang serempak menimbulkan bunyi di
lantai kayu serta gendang dan gong yang dipukul secara teratur. Tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata rasanya. Lebih lagi, kami mendengarkan nyanyian
itu di waktu sore yang mendung di dalam rumah kayu yang belum mendapatkan
listrik. Di akhir nyanyian, seorang anak menyampaikan isi dari lagu tersebut.
“Sana Manik Lain mengungkapkan
keindahan. Satu, alam Manggarai Barat sangat indah dan unik. Ada wisata alam
yang indah dan unik, baik di laut maupun di darat. Yang lebih menarik adalah
komodonya. Semuanya ini adalah karya Tuhan. Dua, sosial budaya Manggarai sangat
indah dan unik. Ada wisata budaya yang indah dan unik, yaitu seni tari, seni
musik tradisi, lebih khusus tarian caci. Semuanya ini adalah karya seni
leluhur. Mari kita bersatu hati menjaga dan melestarikan demi masa depan kita“
No comments:
Post a Comment