Saturday, April 27, 2013

Mencium Si Batu Hitam Legendaris

Keringat sebesar biji jagung mengucur deras di wajah. Muka sudah mulai pucat, jubah panjang berwarna pink-biru bermotif bunga yang saya kenakan sudah basah dan lecek karena keringat, bukan keringat satu orang saja, puluhan orang. Lebih lagi jilbab putih berbahan satin yang menutup kepala saya, sudah gak karuan basah dan baunya. Tapi semuanya tertutup dengan senyum mengembang bangga di bibir saya. Menangis terharu setelahnya. Saya baru saja mencium batu paling legendaris di dunia. Si Hitam Hajar Aswad di sudut utama Ka’bah.

“Ini tadi termasuk sepi loh, Dek. Besok kalau mau megang atau nyium hajar aswad jam segini aja,” kata Ayah ke saya dan Nobel setelah melakukan umrah di siang bolong yang baru saya tahu setelahnya kalau siang itu 40 derajat Celcius suhunya. Oke, saya dan adek saya, Nobel menyusun rencana untuk mendekat ke Hajar Aswad besok Kamis (keesokan harinya).

Pesan Ayah, gak usah pas umrah melakukannya. Waktu Tawaf sunnah saja, karena pakaian bisa bebas. "Gak harus pakaian umrah, takut melorot dan lepas waktu berdesakan nanti," tambah beliau. Lepas kacamata dan amankan agar tidak terluka di saat terdorong. Gak perlu bawa bawaan yang gak penting dan coba baca “Laaailaaaha illa anta, subhaanaka inni kuntu minadzaaalimin” sebanyak 41 kali di saat berangkat. Itu bacaannya Nabi Ibrahim. Ayah juga menyampaikan satu ayat yang bisa kami jadikan pegangan, yang inti isinya adalah boleh kita berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan, tapi jangan sampai melukai yang lain. Itu berlaku juga untuk hal yang akan kami kejar siang itu.

Saya dan Nobel sudah siap tempur. Sandal yang biasa kami bawa saat sholat (kami masukkan kantong plastik), kali ini akan kami masukkan loker di depan Pintu 1, gate King Abdul Aziz. Kacamata kami masukkan ke kotaknya dan kami simpan di saku. Duit, bawa seperlunya. Gak bawa HP. Identitas group yang biasa kami kalungkan kami tambahkan nomer HP ayah dan ketua rombongan, in case terjadi sesuatu pada diri kami. Agak berlebihan sih, tapi kami kan belum pernah melakukan ini. Apalagi kali ini tanpa Ayah. Bismillahirrahmanirrahim, kami mulai petualangan membanggakan ini.
Suasana Ka'bah dari atas saat sore hari. Hijr Isamail sedang dikosongkan untuk dibersihkan. Photo by: Nobel
Pertama sampai di pelataran masjid di siang itu, kami sedikit shock karena kami merasa siang itu lebih ramai dari kemarin. Panasnya juga tidak sepanas kemarin. Kami lanjutkan dengan menaruh sandal kemudian sholat tahiyatul masjid sebentar dan menyempatkan meminum sedikit zam-zam. Kami turun ke area Tawaf di depan Ka’bah.

Bismillahi Allahu Akbar. Kami sapa sudut utama Ka’bah, sudut Hajar Aswad, dengan mengarahkan tangan seolah menyapa Allah lalu menciumnya dari jauh. Kami mendekat ke Ka’bah. Putaran pertama kami observasi dulu kondisinya. Masih ramai, kami lanjutkan ke Hijr Ismail. Di putaran ini kami hanya bisa lewat dan berdoa saja di depan Talang Emas, belum bisa sholat di dalamnya. Kami lanjutkan ke Rukun Yamani, hemm..cukup ramai. Kami lewatkan juga untuk mengusapnya. Kami berputar lagi. Putaran kedua ini kami sempat melakukan sholat 2 rakaat di Hijr Ismail. Lalu kami lanjutkan untuk mengusap rukun Yamani. Hingga kami berada di putaran ketiga dan memutuskan untuk berusaha mendekat ke Hajar Aswad. Saya berada di belakang Nobel dan berdesak-desakan bersama moslem dari berbagai penjuru negeri. Gak boleh ngeluh, gak boleh sengaja menyakiti orang. Nobel sudah mulai terseret ke depan, sedangkan saya terjepit para jama'ah laki-laki. Sejauh pandangan saya, hanya ada saya dan dua wanita di sisi lain yang sedang mencoba mencium Hajar Aswad.

Banyak calo yang menawarkan jasa untuk membantu kita mencium Hajar Aswad saat kita melakukan tawaf. Berapa kalipun kita umrah, berapa kali itulah kita akan melihat para calo yang sayangnya adalah mayoritas dari mereka adalah warga Indonesia. Gak sekalipun kami tergoda memakai jasa mereka meskipun ditowel-towel terus oleh mereka. Kami lihat cara kerja mereka dalam melakukan misi itu. Ternyata untuk membantu satu orang yang ingin mencium si hitam, mereka bekerja bersama-sama. Satu orang dibantu kira-kira 8 orang. Gimana gak gila?? itu artinya kekuatan satu orang tersebut berlipat menjadi 9 orang. Kami pelajari cara mereka menuju ke sana. Ada dua cara, yang pertama, dengan bergandengan tangan dan menyerobot jamaah hingga sampai ke depan. Cara yang kedua, mengajak pembayar jasa untuk naik ke tepi ka'bah dan menggiringnya hingga di depan Hajar aswad. Heheee.. Pengamatan kami tidak sia-sia. Kami tiru sedikit cara mereka :D

Percobaan pertama kami tidak membuahkan hasil, kami terseret keluar kerumunan. Kami memutuskan untuk melanjutkan tawaf saja. Berdoa sepanjang sisi ka'bah, mengusap rukun Yamani dan sampai di Hajar Aswad lagi. Kami putuskan untuk berpencar dan mencoba kembali untuk mendekat ke Hajar Aswad. Karena berpencar, saya sendirian. Tidak ada yang mem"back-up"i saya. Kerudung saya tertarik-tarik, kepala saya tergencet lengan-lengan para lelaki berbadan besar yang memakai pakaian ihram, keringat mereka sangat jelas terlihat. Gak karuan rasanya di tengah-tengah mereka. Muka sudah gak ada manis-manisnya. Semuanya berebut maju! Cuma sesak, panas dan bau yang saya rasakan. Hampir saja tangan saya menyentuh si Hitam, tapi gagal. Sudah berulang kali seperti itu, hingga saya terseret keluar lagi.

Saya putuskan untuk melanjutkan berputar lagi saja. Saat itu ada calo yang mencibir, "Gak bisa kan? sama kita saja lah" Sempat sebel dengernya, tapi saya tepis pikiran jelek di sana.
Putaran ke-5 saya tidak menjumpai Nobel. Putaran ke-6 juga tidak berjumpa. Pas akan masuk putaran terakhir, saya mendengar suara batuk Nobel. Hey, itu dia! Dia berhasil mencium Hajar Aswad!!!!

Sepertinya saya belum ditakdirkan untuk mendekat, pikir saya. Tapi di dalam shalat sunnah di depan maqam Ibrahim, saya selipkan do'a, "Ya Allah, kesempatan saya di sini kali ini hanya tersisa 2 hari. Hari ini dan besok. Saya ingin sekali mencium hajar aswad sebelum saya pulang. Saya yakin engkau pasti akan menolong Hamba. Saya pasrah kepadamu ya Allah." Setelah shalat, saya coba kembali mendekat ke Hajr Aswad. Dengan bantuan Nobel dan naik ke tepi ka'bah sambil berpegangan kain penutupnya, saya merambat ke arah si Hitam. Nobel juga tidak membiarkan saya tergencet. "Ya akhiii, Hadhan Nisaaa..Nisaaa.." Wahai saudaraku, ini perempuan..perempuan, katanya kepada para laki-laki yang menghimpit saya. Di depan saya ada lelaki Arab yang lebih dekat dengan Hajar Aswad, I said to him, "Can you lead my hand to Hajar Aswad?" He said, "Insyaallah" sambil menoleh ke belakang dan baru sadar bahwa yang berdiri di belakangnya adalah perempuan nekat berjubah bunga-bunga mencolok dan menclok di pinggir ka'bah. Hahaaaa..
Lelaki tadi memberikan ruang untuk saya mendekat dan membiarkan space Hajar aswad kosong hingga akhirnya saya bisa menciumnya. Alhamdulillaaaaahhhh..finally!!
"Jazakallahu khoiran katsiiro," Terima kasih banyak, kata kami kepada pemuda tadi. Dia juga membantu saya keluar dari kerumunan.

Air mata saya sempat menetes setelahnya, senyum mengembang di wajah kami. Lelah, penuh peluh, gak ada artinya sama sekali. Sampai-sampai saya terpeleset jatuh karena zam-zam pun juga tidak terasa sakit :D
Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, tidak ada habisnya kami bercerita dengan girang. Sampai di hotel pun kami gak behenti ngoceh, cerita pengalaman hebat tadi ke Ayah, telp ibuk di rumah, sms adek-adek. Hahaaa..norak tapi bangga!
Ayah sempat bilang, "Ayah lupa bilang kalo hari ini malam Jum'at. Malam jum'at di sini sama dengan malam minggu. Rame pol! karena libur mereka itu hari Jum'at". Terjawab sudah kenapa hari itu lebih rame dari hari biasanya.
Ka'bah dengan background Grand Zam-zam hotel yang dalam waktu dekat akan dirobohkan.
Suatu saat pasti akan saya coba lagi. Bahagia benar rasanya bisa berkesempatan ke Baitullah. Alhamdulillah.. Insyaallah setelah itu akan menjadi motivasi untuk bekerja lebih giat dan bisa kembali ke sana lagi. 

2 comments: