Visit Aceh 2013 |
ACEH, saya baru tau kepanjangan Aceh tersebut dari teman seperjalanan waktu di Sabang yang asli Aceh. Penduduk Aceh hampir semuanya keturunan empat wilayah tersebut. Setelah mengamati tipikal wajah beberapa orang yang saya temui di sana, saya ikut meyakini cerita tersebut. Wajah mereka ada yang terlihat seperti keturunan Arab, ada yang tipikal orang Hindia, Cina atau Eropa. Negeri Serambi Mekah ini masih memegang tinggi syariat islam, jadi mayoritas penduduknya berbusana tertutup. Bahkan pengunjung kota ini juga dihimbau untuk berpakaian tertutup. Alhamdulillah saya sudah berbusana tertutup sejak dulu :)
Perjalanan ke Aceh ini adalah satu rangkaian perjalanan saya selama sembilan hari di pulau orang. Meski hanya sehari saja di sini kami benar-benar memaksimalkan waktu singkat kami. Tanggal 28 April 2012 pagi kami sampai di Aceh. Namun hanya sebatas transit saja. Kami langsung melanjutkan perjalanan ke Pulau Weh atau biasa disebut Sabang yang memang harus melalui Aceh dulu. Kami kembali dari Sabang hari Minggu sore 29 April dan stay di Aceh selama sehari.
Perjalanan ke Aceh ini adalah satu rangkaian perjalanan saya selama sembilan hari di pulau orang. Meski hanya sehari saja di sini kami benar-benar memaksimalkan waktu singkat kami. Tanggal 28 April 2012 pagi kami sampai di Aceh. Namun hanya sebatas transit saja. Kami langsung melanjutkan perjalanan ke Pulau Weh atau biasa disebut Sabang yang memang harus melalui Aceh dulu. Kami kembali dari Sabang hari Minggu sore 29 April dan stay di Aceh selama sehari.
Minggu, 29 April 2012
Kami sampai di Pelabuhan Ulee Lheu pukul 16.45 WIB. Sudah ada bentor yang menjemput kami. Kami sudah janjian dengannya saat kami diantarkan ke pelabuhan dari terminal Banda Aceh. Kami minta diantarkan ke Masjid Baiturrahman. The Great Mosque! Salah satu saksi bisu kejadian Tsunami 2004.
Kami berhenti di pelataran masjid sambil menunggu kabar dari host kami masing-masing. Thank you so much for the Couch Surfing. Ichan ( @ichantspanish ) dihost-in seorang teman CS, Bang Ahlan dan host saya bernama Yuni. Di Aceh, syariat Islam sangat terjaga. Yang laki-laki tidak bisa menghost perempuan, begitu pula sebaliknya. Yuni ini adalah sahabat teman trip saya waktu di Maratua. Dia pernah kuliah di Desain Interior ITS, jadi kami kadang bercakap-cakap dengan bahasa Suroboyan :D Yuni tinggal sendiri di Banda Aceh, bekerja di Pemkot Aceh dan merangkap menjadi ibu kos muda yang baik hati..hehee
Bang Ahlan Syahreza, mahasiswa kedokteran yang baru saja ujian profesi. A Smart and so friendly young Doctor.
Sore itu Yuni menghampiri kami di Masjid Baiturrahman dan mengantarkan kami sejenak untuk berkeliling masjid. We were so excited with her explanation about the mosque and the tragedy of Tsunami. Kami sempatkan untuk sholat maghrib dan ngaji sebentar dulu di sini. I sent some message to my parent that I reach Baiturrahman Mosque. Subhanallah..
Baiturrahman Mosque at night |
Interior Baiturrahman |
Pemandangan di malam hari masjid ini sungguh indah. Kami mengambil banyak foto dengan latar masjid. Setelah cukup puas, kami menuju Helsinki Cafe, tempat kami berkumpul dengan Bang Ahlan dan teman CS yang lain. Kami berjalan dari Baiturrahman ke Cafe tersebut. Ternyata jaraknya cukup dekat, kira-kira 10 menit dari Baiturrahman. Kami bertemu Bang Ahlan (@reza_ahlan), Mbak Erna dan Felix. Setelah bercakap-cakap dan mecoba menu di sana kami berpindah tempat untuk makan malam. Kami mencoba sate matang. Sate Matang ini adalah sate daging sapi dengan ukuran cukup besar dan disajikan dengan bumbu sate serta kuah sejenis kuah gulai. Satu porsi Sate Matang ini dihargai kira-kira 20-25ribu rupiah.
Saya diantarkan Bang Ahlan ke rumah Yuni malam itu. Harus cukup energi untuk keliling Aceh keesokan harinya. Seperti biasa, kalo sudah ngumpul bareng teman, ritual sebelum tidur adalah bercerita :) Sharing pengalaman traveling, sharing soal kerjaan, atau bahkan sharing soal lawan jenis. hehehehehee..
Senin, 30 April 2012
Pagi itu saya bangun pukul 5. Saya dan Yuni berangkat sholat subuh ke Baiturrahman. Tidak lupa saya bawa kamera untuk memfoto masjid tersebut. Lebih sepi lebih bagus. Semakin ke Barat Indonesia semakin lama pula waktu mulai aktivitas warganya. Di Aceh, pukul 5 pagi itu masih gelap, dan baru mulai subuh. Bandingkan dengan di Surabaya, jam 5 pagi sudah mulai terang. Aktivitas di jalan raya saja baru terlihat ramai pukul 8 pagi, di Surabaya? jam 6 di A.yani itu sudah mulai macet!
Sholat subuh dan mendengarkan kuliah subuh di Baiturrahman itu rasanya gimanaaaa gitu. Subhanallah deh..
Waktu subuh masih terdengar burung-burung berkicauan di dalam masjid.
Yuni yang hari itu kerja tidak bisa menemani kami untuk berkeliling Aceh. Tapi (lagi-lagi) dengan baik hati ia menawarkan motornya untuk kami pakai seharian. Padahal kami sebelumnya berencana nyari persewaan motor atau naik angkutan umum. Well..destinasi sudah tercatat, peta sudah di tangan (thanks Ahlan for the tourism Map of Banda Aceh), kami siap mengeksplor Aceh!
Starting point Baiturrahman, foto-foto sejenak. Gak ada habisnya kami mengagumi masjid ini. Pukul 09.00 kami beranjak ke Blang Padang. Blang Padang ini adalah lapangan salah satu bentuk terima kasih Aceh kepada negara-negara yang telah membantu di saat Tsunami 2004. Di lapangan ini kita akan disambut dengan bendera berbagai negara berjajar dan tulisan Aceh Thanks to World di pintu masuknya. Kemudian monumen dengan tulisan cerita singkat kejadian Tsunami. Di sekeliling monumen tersebut terdapat cetakan-cetakan beton dengan tulisan banyaknya korban Tsunami dan kata-kata pembangkit semangat dengan berbagai bahasa. Lapangan ini dikelilingi tugu-tugu kecil dengan bendera masing-masing negara yang membantu. Ada pesawat Seulawah RI1 juga loh di sini, meskipun hanya replikanya saja.
Monumen di Blang Padang |
Banyak monumen kecil yang bertulisakan "Terima kasih dan damai" dalam bahasa sesuai negaranya |
Seulawah RI 1. Taken by Ichant |
Tagline Aceh, Damai Itu Indah. Taken by Ichant |
Lokasi Blang Padang ini ada di seberang Museum Tsunami. Dari sini kita bisa melihat bentukan utuh museum Tsunami yang menyerupai kapal dan berlatar gunung. Sambil menunggu mas Bayu (teman trip Sabang) yang mau mengambil snorkel kit mas widhi yang tertinggal di Sabang kemarin, kami sempat jajan di PKL pinggir Blang Padang. Biaya masuk: Gratis.
Dari Blang Padang kami lanjutkan Museum Aceh yang terdapat replika rumah Aceh. Cuma pengen foto di depannya aja sih. hehee.. Gak perlu lama-lama di sana, kami langsung menuju pendopo Gubernur. Pendopo ini dikelilingi 99 nama Allah atau biasa kita sebut dengan Asmaul Husna. Di sini kami juga tidak bisa masuk karena lokasi ini termasuk restricted area. Biaya masuk Museum Aceh: Gratis.
Rumah Aceh |
Kami sempat mampir sebentar ke masjid dengan kubah berbentuk topi khas Aceh. Lucu juga dijadikan obyek foto loh..
Hari menjelang siang dan kami menuju Lhok Nga, pantai yang cukup terkenal dengan sunsetnya. Tapi kami ke sana di siang bolong, jadi terasa sekali teriknya matahari siang itu. Waktu menuju Lhok Nga kami melewati kuburan massal korban Tsunami. Gerbangnya didesain khusus dengan tulisan-tulisan pengingat mati dan cobaan yang didapatkan manusia. "Kami akan menguji dengan kebaikan dan keburukan sebagai cobaan."
Salah satu Kuburan Massal Tsunami |
Gerbang Kuburan Massal |
Lagi-lagi Asmaul Husna mengelilingi Kuburan Massal |
Dari kota menuju Lhok Nga bisa kita tempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Gunung, tebing, sawah, sungai dan jajaran rumah kecil menjadi suguhan kami selama perjalanan ke Lhok Nga. Indah, benar-benar indah. Sebelum sampai di Pantai Lhok Nga, kami sempat nyasar dan berujung menemukan satu area yang saya yakini area tersebut adalah monumen tsunami. Saya ingat dengan TOR sayembara desain monumen tsunami tersebut di waktu kuliah. Dari areanya dan desain yang terpilih tersebut mirip dengan apa yang saya lihat waktu itu. Namun sangat disayangkan, tempat itu benar-benar mangkrak tidak terurus. Rumput-rumput tumbuh panjang dan liar, sampah berserakan dan gersang. Kabarnya area ini akan direnovasi kembali oleh pemerintah.
Dan sampailah kami di Lhok Nga Beach. Lokasinya ternyata berdekatan dengan Pabrik Semen Andalas. Sepiiiiiiiiii! Tidak ada pengunjung selain kami. Kami beristirahat di gubuk gubuk yang ada di pinggir pantai. Menikmati pantai dengan semilir angin pantai yang sejuk. Sudah istirahat, sudah puas foto-foto..kami berlanjut ke Lampuuk, salah satu pantai sumber Tsunami. Jarak dari Lhok Nga ke Lampuuk cukup dekat. Hanya dalam waktu 10 menit kami sudah sampai di pantai ini.
Pantai dengan pasir yang benar-benar putih dan begitu lembut, birunya laut dan hijaunya pepohonan di sekitar pantai melengkapi keindahan pantai. Masuk pantai ini dikenakan biaya Rp 3.000, berbeda dengan Pantai Lhok Nga yang gratis.
Lompatan Lhok Nga |
Sampai juga di Lampuuk |
Lampuuk Beach |
Kamen Rider beraksi :D Taken by Ichant |
Kwereeeenn :* Taken by Ichant |
Tidak
ada retribusi khusus untuk masuk Museum Tsunami. Kita hanya menitipkan barang
kita saja di loket pintu masuk. Awal masuk kita dihadapkan dengan dinding besar
dengan relief peta Aceh berwarna emas. Di area itu terdapat sisi dinding yang
rusak seperti habis terkena gempa. Saya tidak tau dinding tersebut baru saja
kena gempa atau memang sengaja didesain seperti itu agar efek tsunaminya lebih terlihat.
Ada way finding di setiap lantainya. Museum ini terbagi menjadi tiga area, Pra
Tsunami, Saat Tsunami, dan Pasca Tsunami. Jadi ruang pamernya memperlihatkan dan
menggambarkan ketiga keadaan tersebut. Interior ruang pamernya dibuat minim
pencahayaan tapi ada pendar-pendar cahaya dari secondary skin bangunan.
Dindingnya bergelombang maju mundur dari gypsum. Kita bisa melihat video
dokumenter Tsunami 2004 berdurasi 10 menit. Sempet nangis waktu lihat itu. :(
Ada void yang dihiasi bendera banyak negara yang
telah berpartisipasi membantu Aceh waktu Tsunami. Negara-negara yang
berpartisipasi tersebut juga dituliskan di setiap batu bulat buatan di
sekeliling kolam di hall museum. Ada mobil ambulance sumbangan yang dulu pernah dipakai saat evakuasi Tsunami. This museum is awesome!
Panasnya Aceh hari itu gak tanggung-tanggung. Kulit kami menghitam seperti kulit orang Aceh kebanyakan. Haus juga tidak tertahankan. Beberapa kali kami berhenti hanya untuk membeli minuman dingin. Tapi itu semua tidak mengurangi semangat kami untuk melanjutkan perjalanan. Kami menuju PLTD Apung setelah dari Museum Tsunami. Memang petunjuk dari orang lokal lebih mudah dan meyakinkan karena waktu itu hanya dengan peta kurang bisa diandalkan. Ada beberapa area atau jalan yang tidak tergambarkan di peta kami.
PLTD Apung ini adalah kapal besar milik PLN yang terseret ombak Tsunami sejauh 5 KM dari laut ke sebuah kampung penduduk. Kapal ini kemudian dijadikan konservasi oleh pemerintah dan penduduk setempat. Untuk masuk area ini kita tidak ditarik retribusi. Pertama masuk kita akan melihat satu monumen kecil yang bertuliskan korban-korban Tsunami di beberapa kecamatan. Di sampingnya ada ramp untuk menuju menara pandang yang dari situ kita bisa melihat area sekeliling lokasi kapal terdampar. Kita juga bisa masuk dan naik ke Kapal tadi. Tidak ada larangan di sana. Hanya saja kita perlu membeli koin khusus untuk melihat jarak jauh lautan asal Kapal tersebut dengan teropong yang terpasang di dek Kapal. Semilir angin dari atas Kapal dan terangnya sore itu benar-benar mengagumkan.
Destinasi kami yang terakhir sore itu adalah Kapal di atas rumah. Ceritanya hampir sama dengan PLTD Apung, kapal ini terdampar di suatu desa karena Tsunami. Di dalam kapal waktu itu ada beberapa orang yang naik untuk menyelamatkan diri dan subhanallah.. mereka semua selamat.
Setelah list tujuan kami habis, kami sempatkan diri untuk makan di area pasar Atjeh, pasar sebelah Masjid Baiturrahman. Nasi lemak menjadi pengganjal perut kami sore itu. Setelah sholat (lagi-lagi di Baiturrahman) kami bersiap untuk kembali ke Medan dengan bus kurnia. Tiketnya sudah kami beli siang harinya seharga Rp 130.000,- lebih mahal 5 ribu rupiah dari bus Pelangi.
Kami diantarkan Bang Ahlan dan Yuni ke terminal Aceh. Tidak lupa untuk foto bareng mereka. Fiuuhhh.. benar-benar perjalanan yang seru dan tak terlupakan!
Sampai jumpa di perjalanan Bukittinggi dan Medan, perjalanan kami masih panjang!
No comments:
Post a Comment